Thursday 31 January 2013

Larangan Buruk Sangka dan Mencari Kesalahan Orang Lain




Buruk sangka (su'u dzan) adalah salah satu daripada sifat-sifat mazmumah (buruk/tercela). Manakala mencari-cari kesalahan orang lain pula hadir apabila wujudnya sangkaan buruk di dalam hati manusia. Apabila timbulnya buruk sangka, maka sudah tentu rasa ingin mencari kesalahan seseorang itu timbul sehingga terbukalah kesalahan, aib atau kelemahan seseorang itu yang menyebabkan si pelaku itu berasa puas. Ia adalah suatu penyakit hati yang akan menyerang sesiapa sahaja. Hanya keimanan dan ketaqwaan yang kukuh mampu mengatasi rasa buruk sangka dan mencari kesalahan orang lain ini. 

Allah Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat : 12)

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus. Tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau keburukan atau aib orang lain, yang biasanya merupakan kesan dari prasangka yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, kerana prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari keburukan orang lain, saling inti-mengintip, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (Riwayat  Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563 )

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Kathir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surah Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.  (Tahdzib At-Tahdzib) 

Disebutkan bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.  [kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) ] 

Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan keburukn seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind , Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kburuknmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari keburukanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” ( Bidayah wa Nihayah, Ibnu Kathir (XIII/121))


Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata:

Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan keburukan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan keburukan dirinya sendiri dan melupakan keburukan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa gelisah. Setiap kali dia melihat keburukan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat keburukan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan keburukan orang lain dan melupakan keburukannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan keburukan dirinya”.[Raudhah Al-‘Uqala (hal.131)]

Beliau juga berkata,:

“Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.[Raudhah Al-‘Uqala (hal.133)]


والله أعلمُ بالـصـواب

Friday 4 January 2013

Bersyukurlah kerana Allah menjadikan kamu sebagai orang yang berilmu


Kata seorang ilmuan :
"Ilmu itu cahaya daripada Ilahi.
Memancar keluar melahirkan amal.
Memancar ke dalam menzahirkan iman."

Orang yang bermujahadah dalam usaha mencari dan mendalami ilmu pengetahuan itu diumpamakan seperti orang yang berjihad di medan perang, penanya lebih tajam daripada sebilah mata pedang, dan tintanya seumpama darah yang mengalir dari tubuh para syuhada'.

Para pencari ilmu yang ikhlas kerana Allah, bermujahadah bukan kerana mengejar kemulian dunia semata-mata akan tetapi mereka ini sangat diperlukan dalam Islam bagi menegakkan agama Allah dan menyebarkan syiarNya. 

Kemuliaan seseorang itu bukan terletak pada kekayaan harta atau pangkatnya, tetapi pada keluasan dan ketinggian ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Harta akan habis apabila digunakan, tetapi ilmu tidak akan habis jika diamalkan dan diajarkan  kepada orang lain.

Orang yang berilmu akan sentiasa menjaga kualiti imannya. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki, semakin mantap keimannya kepada Yang Maha Esa. Ini kerana menjaga iman itu adalah aspek yang amat penting dalam memelihara dan menjaga kecairan ilmu pengetahuan yang dimiliki daripada dicemari oleh sebarang perbuatan maksiat. "Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang melakukan maksiat".

Bermulanya perjalanan hidup kita dengan ilmu dan penutupnya juga dengan ilmu. Begitulah yang telah diterapkan dalam Islam menekankan betapa pentingnya menjadi orang yang berilmu. Bak kata tuk nenek kita dulu-dulu "buai tinggi-tinggi sampai cucur atap, belum tumbuh gigi, sudah pandai baca kitab" bagaikan menyahut seruan Rasulullah agar menuntut ilmu dari buaian hingga ke liang lahad...

عن ابي بكر (رضى) ، عن النبى (ص) قال : اغد علما او متعلما او مستمعا او محبا
                        ولا تكن الخامسة فتهلك                       ( رواه الطبرنى)

Maksudnya : Mulakan pagimu sebagai seorang Guru Atau Pelajar atau Pendengar atau Orang yang cinta akan ilmu , jangan menjadi orang yang kelima, nescaya kamu akan binasa



Ilmu itu harus dikongsi,
~ The Sweet Cik Ayu ~

Wednesday 2 January 2013

Hamba & Hati yang Redha


Kitalah hamba
Tumpang bernaung di bawah rahmat-Nya
Tumpang berteduh di atas bumi-Nya
Jiwa hamba
Jelasnya sangat rapuh
Sangat lemah
Taatkah kita kepada al-Khaliq?
Sedarlah diri wahai hamba
Resminya kita ini hamba 
Hanya menurut kepada al-Khaliq.

Kita hamba yang miliki hati yang angkuh
mendabik bangga
melantangkan diri
"Akulah hamba Allah yang paling mulia
di antara hamba yang lain,
aku sentiasa taat perintah-Nya,
aku laksanakan segala suruhan-Nya."

Tanyalah kembali pada hatimu
Benarkah engkau mulia?
Tatkala engkau diuji
Apakah engkau redha?
Lalu ku cuit hati angkuh ini
Patahkan keangkuhanmu wahai hati
Tatkala engkau ditimpa musibah
Seringkali kau persoal
Mengapa diriku diuji
begitu dan begini?
Tidak malukan engkau
mengaku diri hamba mulia?

Hamba mulia itulah kekasih Allah
yang berjiwa tenang
kerana hidup sentiasa redha...
Qada' dan qadar rahsia Allah
Ianya mendidik, itulah tarbiyyah.
Allah mencatur setiap perbuatan manusia
DIA di sebalik tabir
setiap peristiwa...

Kekasih Allah itulah
yang sentiasa yakin
Cubitan dari Yang Maha Penyayang
selamanya lebih harum dan manis
daripada ribuan bunga
dan selautan madu... :)

Ilmu itu harus dikongsi,
~  Cik Ayu  ~

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...